Sjahrir dan Hatta dalam Pengasingan.
Cerita Des Alwi bersama Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta, dalam memoarnya yang berjudul Friends and Exiles: A Memoir of the Nutmeg Isles and the Indonesian Nationalist Movement selalu berhasil membuat saya tertawa karena membayangkan bagaimana semua cerita ini terjadi saat itu. Memoar yang ditulis oleh Des Alwi memberikan saya gambaran mengenai sisi lain Sjahrir dan Hatta. Bagian yang paling saya suka adalah ketika Des menceritakan kehidupannya dengan Sjahrir dan Hatta —yang biasa ia panggil Om Rir dan Om Hatta atau Om Kaca Mata — sewaktu di pengasingan, Banda Neira.
Kedatangan Sjahrir dan Hatta
Banda Neira. Tempat pengasingan yang menjadi saksi antara Des Alwi dengan Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta yang kala itu dipindahkan dari Boven Digul. Sore itu, 11 Februari 1936, mereka berdua datang bersama delapan peti kayu, empat tas kulit, dan wajah pucat. Peran pertama Des Alwi saat itu adalah mengantar keduanya ke rumah Tjipto Mangunkusumo — Des biasa memanggilnya Om Tjip — . Namun, karena rumah Tjipto terlalu jauh, Des mengantar keduanya ke rumah Iwa Kusuma Sumantri. Ia meminjam sepeda milik temannya untuk memberitahu Tjipto bahwa ada dua orang yang datang ingin menemuinya, satu bernama Mohammad Hatta, dan satunya lagi ia tidak tahu karena tulisan di koper miliknya (Sjahrir) tidak dapat terbaca oleh Des Alwi.
Bagi Des, dia tidak mungkin bisa lupa dengan sore hari itu.
It is impossible for me to forget that afternoon, because that began a change in my life and my future.
Sjahrir dan Hatta di Banda
Di pengasingan, Sjahrir dan Hatta membuka sekolah sore untuk anak-anak Banda Neira. Hatta mengajar anak-anak yang lebih tua, sedangkan Sjahrir sebaliknya. Semua pelajaran diberikan menggunakan Bahasa Belanda. Des ikut bergabung dalam sekolah sore itu atas saran ayahnya. Satu jam setengah sebelum sekolah dimulai, ia sudah datang melalui kebun untuk mengambil buah mangga atau sawo. Antara kelas Hatta dan Sjahrir dipisahkan oleh papan tulis sehingga Des dapat mendengar ketika Hatta marah-marah dan muncul kata kesukaannya: monyet. Dari sekolah sore, Des diadopsi oleh Sjahrir. Menurut Des Alwi, ibunya tak masalah ia diadopsi oleh Sjahrir karena ia tidak bisa diatur dan nakal ketika di rumah.
Dalam keseharinnya, Hatta selalu berpakaian dengan kaos lengan panjang dan celana panjang yang keduanya berwarna putih. Setelah mandi, Hatta kemudian sarapan dan sudah mengenakan pakaian rapi. Berbeda dengan Sjahrir yang masih memakai piyama saat sarapan. Hatta kemudian langsung menulis atau membaca. Siang hari setelah makan siang, ia biasanya akan tidur siang dan bangun jam tiga sore untuk mengajar di kelas sore. Sedangkan Sjahrir dalam kesehariannya tidak selalu pasti apa yang ia lakukan, menurut Des ia seperti seorang artis selama di Banda. Sjahrir biasanya bangun lebih siang daripada Hatta, tetapi dalam beberapa kesempatan ia bangun lebih pagi pukul lima untuk berkeliling pantai di Kampong Ratu. Setelah sarapan, Sjahrir biasanya akan minum teh dan mulai membaca atau menulis. Kadang, Sjahrir membaca dan bekerja dengan celana boxer. Ia juga jarang tidur siang dan memilih bermain kelereng dengan Des dan anak-anak lain. Pada sore hari, ia menghabiskan waktu untuk berenang, bermain tenis, atau sepak bola.
Sabtu malam bagi Sjahrir dan anak-anak Banda selalu menyenangkan, tetapi tidak bagi Hatta. Anak-anak di sana biasanya akan datang dan tidur di rumah Sjahrir dan Hatta. Hatta memilih untuk pergi ke rumah Tjipto atau Sumantri karena mereka (anak-anak) terlalu berisik. Mereka biasanya bermain petak umpet di belakang rumah dan ruangan yang kosong. Namun, pada suatu malam, Hatta pulang lebih awal dan sangat marah mengetahui kamarnya berantakan. Salah seorang anak laki-laki ternyata lupa akan peringatan Sjahrir yang melarang untuk sembunyi di ruang special-extratritorial itu.
we could hear uncle kaca mata’s favorite words when he was angry: “Monyet, monyet, binatang,binatang kecil”
Hatta kemudian memanggil Sjahrir, tetapi tidak ada jawaban. Des dan kawan-kawannya heran akan hal tersebut. Saat Hatta menyalakan lampu kerosene ke beranda belakang, Des dan kawan-kawannya pergi diam-diam ke ruangan Sjahrir untuk keluar melalui beranda depan. Ternyata, pintu depan sudah terbuka, menurut Des ada dua kemungkinan: Sjahrir sudah pergi saat Hatta kembali atau sebelum ia kembali. Des kemudian menemukan Sjahrir sedang ngobrol dengan nenek Toos dan beberapa perempuan lain. Des dan Sjahrir kemudian kembali ke rumah mereka. Sjahrir meminta maaf kepada Hatta, tetapi Sjahrir tidak bilang kalau ia ikut main petak umpet.
Di pengasingan, kedunya suka berlayar hingga Hatta memutuskan untuk membeli orambai. Seluruh orang Kampong China dan Negreh tahu kalau Hatta memiliki orambai dan statusnya berganti menjadi pemberi pinjaman orambai. Orambai miliki Hatta seringkali digunakan secara ilegal (tanpa izin dari Hatta) untuk mengantar penumpang KPM, mencuri kelapa muda dan jamblang di Gunung Api oleh anak-anak nakal. Hatta sangat malu dan marah akan hal itu.
Imagine — a known nationalist leader and political exile renting his prau to tourists, or using it to carry passengers to and from a KPM steamer in competition with the Bandanese orambai owners, or, worst of all, using the prau to steal fruit.
Sjahrir saat itu menjadi tertarik dengan kolee-kolee hingga akhirnya ia membelinya. Des dan teman-temannya mengajari Sjahrir untuk mengendarai kolee-kolee. Pelajaran pertama yang Des ajarkan adalah masuk ke kolee-kolee, tetapi tidak dari air melainkan dari dermaga milik Om Philippus. Sjahrir gagal berkali-kali hingga Des menyuruhnya untuk melepas semua baju yang ia kenakan dan tinggal memakai celana boxer. Hampir setiap sore, Sjahrir belajar menyeimbangkan badannya untuk mengendarai kole-kole hingga ia harus memperpendek jam kelas sore. Sjahrir sangat terobsesi mengendarai kolee-kolee.
Setelah mahir mengendarai kolee-kolee, Sjahrir rupanya ingin perahu yang lebih besar. Des senang mengetahui hal itu karena ia tahu jika Sjahrir mendapat perahu lagi, maka kolee-kolee milik Sjahrir akan berpindah tangan ke Des. Sjahrir akhirnya membeli kolee-kolee lain yang delapan kali lebih besar dari kolee-kolee miliknya seharga delapan gulden dan dibawa ke pembuat perahu untuk dijadikan yatch. Abang Johar — penjual kolee-kolee — sangat senang saat Sjahrir membeli kolee-kolee super besar seharga delapan gulden itu karena bagi orang Banda , dengan harga yang lebih rendah pun tidak akan ada yang mau untuk membeli kolee-kolee super besar itu. Kolee-kolee super besar milik Sjahrir kemudian dibawa ke Sepus, pembuat kapal, untuk diubah menjadi yatch. Setelah jadi, pseudo-yatch milik Sjahrir itu kemudian dicat berwana biru dan dinamakan “Indonesia”.
Sjahrir mengadakan selamatan untuk meluncurkan pseudo-yatch miliknya pagi itu. Sjahrir menyuruh Des untuk membeli sebotol champagne untuk dipecahkan di pseudo-yatch miliknya. Ternyata yang Des beli waktu itu adalah minuman lemon yang rasanya seperti champagne, alasannya karena label botol itu ada tulisan champagne-champagne-nya.
Then I discovered a bottle on whose label was written in Dutch something like: “This lemonade tastes like champagne.” This must be the one, I thought, but how come the price was only ten cents? Uncle Rir had told me that I must be careful when I carried the bottle of champagne because it would be expensive, over one guilder. I took the bottle, hoping that the Chinese shopkeeper had sold the “sampain” below its cost.
Ketika perang Eropa dimulai, Sjahrir memutuskan untuk menikahi kekasihnya, orang Belanda, yang bernama Maria Duchateau. Karena bisingnya anak-anak adopsinya dan persiapan untuk menyambut Maria serta anaknya, Sjahrir memutuskan untuk pindah ke salah satu rumah Baadila. Sjahrir membesarkan anak-anak adopsinya dengan dispilin. Mereka hanya memiliki sepasang sepatu, tiga baju, dan tiga celana. Baju yang diberikan, dijahit sendiri oleh Sjahrir hingga kantongnya dibuat terlalu kecil, terlalu besar, atau bahkan tidak lurus. Hatta yang merasa rumah yang ia tinggali terlalu besar untuk ia sendiri, akhirnya memutuskan untuk pindah ke rumah yang lebih kecil di Kampong ratu. Di rumah baru, Hatta yang suka kucing memelihara beberapa kucing laki-laki dan menamai mereka dengan nama diktaktor yang ia benci seperti Hitler, Mussolini, dan Franco. Sedangkan Sjahrir, ia memiliki anjing dan dinamai Jojy.
Kepergian Sjahrir, Hatta, dan Anak-Anak Adopsinya
Setelah penyerangan Pearl Harbour oleh Jepang pada Desember 1941 dan pemerintah Hindia Belanda menyatakan perang dengan Jepang, Gubernur Jendral Belanda di Jakarta meminta untuk membawa kembali Hatta dan Sjahrir. Sebelum kembali, mereka membuat proposal untuk diperbolehkan membawa anak-anak yang mereka adopsi di Banda. Gubernur Jendral menyetujui hal tersebut.
Kepergian Sjahrir, Hatta, dan anak-anak yang ia adopsi untuk kembali ke Jakarta bukan hal mudah, bahkan bagi orang-orang Banda.
I rushed back to the house and my mother embraced me and cried; my younger
sisters followed me and cried; the old servant Nina embraced my legs and asked me not to go. Jot, Halik, Koon, and many other friends looked at me with sad eyes.An old lady who used to come to the house to chat with Uncle Rir screamed loudly and begged him to stay. Uncle Hatta arrived from Kampong Ratu with a small bag, followed by a crowd of silent and sad-looking Bandanese. We left the house to proceed to the los followed by a crying and sad-looking crowd. At the los more people were waiting-almost every Bandanese of Neira was there. Kolee-kolee and praus arrived from Gunung Api with more people. Their village head said loudly, “Please tuan-tuan [gentlemen], don’t leave us!”
Sjahrir dan Hatta saat itu pergi bersama tiga anak — Ali, Lily, dan Mimi — yang ia adopsi. Mereka meninggalkan Des dan sebagian buku milik Hatta karena pesawat yang akan mereka gunakan kelebihan muatan. Hatta ketika itu berpesan kepada Des untuk menjaga buku-buku miliknya dan datang ke Jawa secepat mungkin. Des menangis ketika mereka mulai meinggalkan Banda.
I felt lonely and unhappy. My young friends embraced me as I walked back to the house. I didn’t know what to do, but I realized that my life had changed.
Sumber:
Alwi, D. (2018). Friends and Exiles: A Memoir of the Nutmeg Isles and the Indonesian Nationalist Movement (B. S. Harvey (ed.)). Cornell University Press. https://doi.org/10.7591/9781501720598